Welcome To SMP Plus Pst Amanah Site's

Rabu, Desember 09, 2009

Juara II Lomba Menulis Telkom Speedy Etape-3 Tour Speedy Indonesia

Selamat kepada ananda Rizalurrosidin siswa kelas IX B SMP Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya yang telah meraih prestasi sebagai Juara II Lomba Menulis Telkom Speedy Etape 3 Speedy Tour d'Indonesia.
Judul Tulisan : "MIMPI YANG HAMPIR SEMPURNA"
Mudah-mudahan dapat menjadi motivasi khususnya bagi yang bersangkutan dan siswa SMP Plus Pst Amanah pada umumnya.

MIMPI YANG HAMPIR SEMPURNA

Beribu tepuk tangan membanjiri telinga ini, beribu pasang bola mata tertuju padaku diatas podium tertinggi sambil memegang piala emas berbentuk sepeda dan kulihat ibuku tersenyum manis memandangku, kuberlari menuju ibuku terus dan terus……

“Bangun, bangun, kau pikir ini hari minggu?” suara itu tak asing di telingaku, itu adalah suara ibuku. Kuteringat hari ini adalah hari pertama ujian akhir semester di sekolahku, ku turun dari ranjang dan berlari menuju WC untuk mandi. Terasa segar badan ini setelah aku mandi, ku pakai seragam sekolahku yang berwarna putih biru. “cepat Robby ini hari pertama ulanganmu, jangan sampai kau telat!” teriak ibuku.

“Iyah, bu, Robby bentar lagi berangkat” jawabku, ku pergi ke dapur untuk sarapan. Setelah sarapan ku salam pada ibuku dan meminta doa agar ujian ini di mudahkan, ku buka pintu rumah kecilku dan mulai menendarai sepedah pemberian almarhum ayahku yang meninggal sepuluh tahun yang lalu dalam kecelakaan. Jarak sekolah dan rumahku cukup jauh, sekitar dua kilo. “Rob!” kudengar suara di belakangku dan kulihat sahabatku Reza membututiku di belakang. “Hei, Za Cepat! Waktu nih, waktu,” teriakku, ku boseh sepedaku lebih cepat entah karena waktu atau karena aku tak mau di dahului oleh sahabatku dari SD.

Sesampainya di gerbang sekolah ku lihat ke belakang, Reza tak begitu jauh dari ku. setelah melewati gerbang sekolah aku dan Reza memarkirkan sepedah kami di tempat biasa, di depan pohon nangka. “teng,teng,teng” suara lonceng yang biasa di pukul oleh Pak Yogi. Aku dan Reza berlari ke kelas paling pojok yang bertulisan “IX B”, sesampainya di kelas aku duduk paling belakang di pojok kanan bersama Reza, yang dari pertama masuk sekolah kami tidak pernah berbeda meja. Pak Yogi mulai membagikan soal matematika dan kertas jawaban, masing masing delapan belas pasang, karena sekolahku bukan sekolah favorit terlebih lagi letaknya yang di belakang gunung, maka wajar jumlah di kelas ini hanya delapan belas orang. Ku mulai mengerjakan soal tersebut yang menurutku tak sulit tetapi tak mudah juga.

Dua minggu telah berlaru itu berarti ujian telah berlalu, lega hatiku mengetahuinya terutama karna libur panjang akan segera datang. Hari ini hari pembagian rapot, ibuku tidak bisa datang karna harus menyelesaikan jahitan baju pesanan yang harus di selesaikan hari ini juga. Sehingga ibu meminta tolong pada ibu Arini, dia adalah ibunya Reza untuk mewakili ibuku membawa rapotku.

Aku pergi ke sekolahku bersama Reza mengendarai sepedah sedangkan ibu Arini menaiki ojek. Sesampainya di sekolah kulihat temanku bersama orang tuanya menuggu giliran panggilan dari Pak Yogi yang merupakan wali kelas kami yang akan membagikan rapot. Setelah sekian lama menunggu akhirnya tiba giliranku untuk mengambil rapot yang sebelumnya telah didahului oleh Reza, aku masuk ke kelas bersama ibu Arini. “Silahkan masuk bu Arini!” kata Pak Yogi, kulihat Pak Yogi sedang duduk di depan meja yang didepan nya terdapat dua kursi, aku duduk bersama ibu Arini di sampingku, ku lihat wajah Pak Yogi terpancar raut muka yang sedih. “Eh…,sebelumnya saya minta maaf karna tak bisa membantu”, kata Pak Yogi pelan, “Maksud bapak ?” tanyaku bersamaan dengan bu Arini, “ jadi begini, karna Robby memiliki tunggakan SPP selama lima bulan, maka sesuai peraturan sekolah, Robby tidak bisa mengambil rapot sampai tunggakan itu di lunasi,” kata Pak Yogi dengan nada pelan. Mendengar perkataan itu, hatiku tak bisa menahan agar bola mata ini tak mengeluarkan airmata,aku berlari keluar kelas, “Robby!” teriak Pak Yogi,tapi kuhiraukan begitu saja. ku taiki sepedaku dan ku kayuh entah kemana tujuanku, sampai akhirnya ku lelah dan berhenti di sebuah kebun kelapa, aku turun dari sepeda dan duduk menyender di salah satu pohon kelapa. Kenapa ini harus terjadi pada diriku? Kenapa ayah meninggal? Kenapa ibu tak bilang padaku, kalau ibu belum membayar SPP? Teriaku, “Karna itu sudah suratan dari yang maha kuasa,” kata seorang yang sedang menuju kepadaku sambil membawa golok, wajah ku tak bisa menyembunyikan kekagetan dan ketakutanku. “tenanglah, bapa ini pemilik kebun kelapa ini, tak usah takut! Bapak cuma kebutulan melihatmu di sini sendirian sambil berteriak,” ucapnya, ketakutanku agak berkurang setelah mendengar perkataannya, tapi wajah bapa tersebut seakan keheranan melihat wajah ku dari dekat,bapa tersebut terus memperhatikan wajahku “Apa kau kenal dengan orang yang bernama yanto,si pembalap sepedah tercepat di Indonesia, tahun Sembilan puluhan?” aku kaget mendengar perkataan bapak tersebut, “ i..,i..iya saya mengenalnya, dia almarhum ayah saya,” jawab ku sedikit terbata-bata, “ Ternyata benar dugaanku, kau anak yanto” jawabnya dengan nada senang, “apakah bapa mengenal ayah saya?” tanyaku penasaran, “ tentu bapak kenal, karena ayahmu adalah teman sekaligus rival bapak dalam hal balap sepeda, tapi sayang ia meninggal dalam kecelakaan sepuluh tahun yang lalu” jawabnya, “Jadi bapak adalah seorang pembalap sepeda?” tanyaku lagi “ yah, tapi itu dulu, sekarang bapak sudah tak mampu lagi menjadi pembalap sepeda, apalagi pembalap nasional seperti ayahmu dulu?”. Jawabnya dengan nada keras, “ Jadi ayah saya dulu seorang pembalap nasional?” tanyaku dengan kagum, “Yah, tentu, dia pembalap nomor satu di Indonesia pada jamannya” kata bapak tersebut, “ Tapi kenapa ibu tak memberi tahuku?” kataku pelan “Mungkin dia tak mau kau seperti ayahmu, karena ayahmu meninggal dalam mobil yang akan membawanya ke tempat kejuaraan ASEAN cup di Bandung, ngomong-ngomong kenapa kamu bisa ada di sini?” tanyanya dengan suara pelan, akhirnya karena dia teman ayahku ku ceritakan semua yang terjadi padaku hari ini. “Oh.., jadi begitu” kata bapak itu dengan suara keras sambil duduk di sampingku, “ Tapi kenapa ya pak, ibu saya tidak memberitahu saya kalau dia tidak mampu bayar SPP?” tanyaku. “ Yah.., mungkin ini yang terbaik untukmu, mungkin ibumu pikir kalau kau tau hal tersebut, kau takan konsentrasi dalam belajar” jawabnya lembut, akhirnya kami terus mengobrol dari membicarakan ayahku dan juga sepeda dari ayahku, dia bilang sepedah itu sangat bagus untuk hal balapan, Cuma badannya saja yang agak lecet dan rusak sedikit, sepeda itu merupakan sepeda terakhir yang dipakai ayah sebelum iyah meninggal, tambahnya, “ Kalau saya boleh tahu, siapa nama bapak? Tanyaku “Nama bapak Yusep Hasby, ngomong ngomong hari sudah sore sebaiknya kau pulang ke rumahmu! Nanti ibumu khawatir dan mencarimu kemana mana,” ucapnya, “Iya juga yah pak, kita tak terasa sudah banyak ngobrol, “ Yah, sudah kalau begitu cepat pulang! Tapi jika kau ada perlu apa apa dengan bapak, datang saja ke rumah bapak yang ada di atas sana” katanya sambil menunjuk kearah rumah yang cukup bagus di atas kebun. “ Ya sudah pak saya pulang dulu”, ucapku, kuambil sepedaku dan mulai ku jalankan, hati-hati di jalan dan jaga sepeda peninggalan ayahmu itu baik baik, salam ke ibumu!” teriaknya dan aku pun terus mengayuh sepedahku kerumah.

Kulihat bulan bulat sempurna dari luar rumah kecilku, ku memikirkan apa yang bisa kulakukan, masalah SPP masih menjadi pemikiran utama. Apa yang bisa kuperbuat untuk menyelesaikan masalah ini, tunggakan SPP lima bulan bukanlah jumlah uang yang sedikit, terlebih lagi aku ingin sekali melihat buku raportku. Saat melamun ku dengar suara langkah kaki yang semakin mendekatiku, kutengok ke belakang ternyata ibuku, “kau melamunkan masalah SPP dan ayahmu?” tanyanya, karena sebelumnya sudah kuceritakan tentang SPP dan juga tentang bapak Yusep, “Yah, aku masih memikirkan masalah SPP”, jawabku pelan, “kau marah pada ibumu ini?”,ucapnya,”tidak, tentu tidak, apa yang ibu sembunyikan selama ini aku yakin hanya untuk membuat ku lebih baik” jawabku pasti, “Yah, apa yang ibu lakukan hanya untuk membuatmu lebih baik, terutama tentang ayahmu, dia meninggal dalam kecelekaan yang kabarnya bukan kecelakaan biasa, tapi kecelakaan yang direncanakan oleh orang yang tidak suka akan kesuksesan ayahmu, ibu tak mau itu sampai menimpamu nak” ucap ibuku lembut,”Tapi aku ingin menjadi pembalap seperti ayah”, jawabku semangat,”Jika itu sudah keinginanmu ibu tak bisa mencegahnyah”, jawabnya, “Benarkah bu? Robby akanberjuang”, kataku penuh semangat, ibu hanya tersenyum melihatku. Kami banyak membicarakan solusi tentang SPP malam itu, sampai hari sudah benar benar gelap, kami masuk ke rumah, akupun melangkahkan kakiku ke dalam kamar.

Hari ini hari pertama liburan, aku sedang memperhatikan sepedah peninggalan ayahku yang berwarna biru tua, “Rob, aku punya kabar gembira untukmu” teriak Reza yang berlari menghampiriku, dia membawa selembaran berwarna kuning dan menyerahkannya padaku, “Apa ini,za?” tanyaku, “Baca dulu! kalau menang ini bisa menolongmu”, jawabnya tergesa gesa, menang? Aku tak mengerti ini ku mulai membacanya, ternyata ini pengumuman lomba sepedah yang di adakan speedy. ” Hadiah utama sepuluh juta dan beasiswa ke sekolah atlit nasional” teriaku kaget, “ Yah, dengan ini kau bisa melunasi tunggakanmu dan juga bisa sekolah gratis”,ucapnya tak kalah semangat, aku mulai mambicarakan lomba ini lebih mendalam dengan reza, dan mulai menyusun rencana dan pada akhirnya Reza memutuskan aku yang ikut dalam lomba dan reza yang akan mengurus masalah sepeda, dia beralasan karena ia tak mau menjadi pembalap tapi ingin menjadi seorang mekanikal yang handal dengan syarat jika menang, uang sepenuhnya menjadi miliknya setelah sebagian di bayarkan untuk SPPku, akupun menyetujuinya dan memutuskan untuk minta tolong agar aku di latih oleh pak Yusep, Rezapun menyutujuinya setelah aku memberitahu siapa pak Yusep, kami berjanji akan bertemu besok di kebun kelapa untuk menemui pak Yusep, Rezapun pulang untuk mempersiapkan peralatan mekanik. Malam harinya aku menceritakan pada ibuku dan dia sangat senang mendengarnya,akupun tidur dengan senyuman.

Pagi ini aku cepat mandi dan makan kemudian pamit pada ibu untuk pergi ke rumah pak Yusep, aku menaiki sepedaku dengan penuh semangat.Sesampainya di kebun kelapa tak lama kemudian reza datang, akupun menjadi petunjuk jalan karena ia tak tau rumah pak Yusep. Setelah sampai di depan rumah, kami melihat pak Yusep sedang mengupas kelapa dan agak kaget melihat k datangan kami, kami pun turun dari sepedah dan datang menghampirinya. Dia tampak senang akan kedatangan kami, itu tampak dari raut wajahnya dan kamipun menceritakan niat kedatangan kami.

“Jadi begitu yah.., bapak bisa saja, asal dengan syarat tekad yang bulat dan tidak setengah setengah” ucap pak Yusef tegas, “Tentu” jawab kami berdua serentak, “Ngomong ngomong pak yusep kami belum memberi tahu anda nama kami, saya Robby yang akan menjadi pembalap dan ini sahabat saya Reza yang seorang mekanikal”, ucapku,”oh yah bapak lupa dulu tidak menanyakan namamu Rabby, maklum bapak sudah tua”, kata pak suruh Yusep yang di sambut dengan senyuman kami. Pak Yusep pun memutuskan untuk mengajariku mulai dari besok pagi. Kamipun pamit untuk pulang.

Sepedah dan memberiku sepatu, “Sepatu apa ini pak?” tanyaku, di hanya tersenyum dan memberikan sepatu tersebut padaku, setelah sepatu itu ku pegang ternyata sepatu itu sangat berat sampai aku menjatuhkannnya dan kembali kupungut dari tanah, “pakai sepatu itu kemana pun kau pergi!”. “Apa..?, jangan bercanda pak?”, teriakku tak percaya, “Itu adalah sepatu yang kupakai saat aku masih seumuran denganmu,jangan banyak bicara cepat pakai!”, teriaknya tegas, akupun langsung memakainya, berbeda denganku Reza dia disuruh ke dalam rumah, akupun melangkahkan kakiku untuk menyusul Reza, ternyata sepatu ini sangat berat, “mau kemana kau robby, tugasmu berbeda! sekarang kau harus mendaki bukit dan mencari sampah dan harus sampai keranjang ini penuh,memakai sepatu itu,cepat…!”, teriaknya keras, aku pun segera mematuhinya, kumbil ranjang di samping rumah dan melangkahkan kakiku ke bukit, meski sangat sangat susah. Dengan susah payah aku pergi ke bukit dan mulai mengambil sampah dan memasukannya ke ranjang, aku terus melakukanya sampai ranjang ini penuh dan pulang ke rumah pak yusep untuk melapor.

Sesampainya di rumah pak Yusep, ku lihat Reza sedang mengobrol dengan pak Yusep, “Pak sudah selesai”, kataku, “bagus, simpan keranjang itu kembali dan ingat pakai terus sepatu itu, kecuali saat di rumah, mendengarnya saja sudah membuatku lemas, akhiranya kami pergi dan aku pun memakai sepedah menggunakan sepatu pemberian pak Yusep.

Di jalan kami saling tukar cerita, ku ceritakan saat aku mengambil sampah menggunakan sepatu super berat, tapi ia malah tertawa terbahak bahak, sedang dia bercerita bahwa ia di suruh mencari informasi lewat internet tentang perlombaan nanti. “ memekai speedy itu sangat cepat, jauh sekali dengan yang di rumahku”,ucapnya semangat, yah memang hanya Reza yang memiliki computer lengkap dengan internetnya di desaku, kami pun sudah hamir sampai, aku dan Reza pun berpisah karena berbeda jalur.

Besoknya hal itu kami lakukan setiap latihan, aku seperti mau mati memakai sepatu berat ini, tapi hari ke hari aku mulai terbiasa memakainya, karena kupakai kemanapun aku pergi. Besok adalah hari perlombaan, berarti ini adalah hari terakhir kami latihan, saat terakhir mengambil sampah di bukit ternyata hanya memenuhi setengah keranjang, berarti sampah di bukit telah kubawa semua, sebagai hadiah pak Yusep memberiku helm sepedah, aku sangat senang. Hari sudah sore, kami pun memutuskan untuk pulang, sebelum kami pulang pak Yusep berpesan padaku “Anggaplah lawan-lawanmu itu hanyalah segundukan batu yang harus kau lewati”. Dan akhirmya sepatu ini bisa kulepas rasanya kakiku bagai punya sayap untuk terbang.

Malam hari sebelum pertandingan di mulai Reza datang kepadaku dan melakukan pembedahan pada sepedaku sambil bekerja dia memberitahuku ada dua lawan terberatku mereka adalah juara satu dan dua di kejuaraan jawa barat, lima kali berturut turut, tapi aku tak gemetar sama sekali. Reza menyuruhku tidur duluan karena harus menjaga stamina, akupun pergi ke kamar untuk tidur.

Pagi ini merupakan pagi yang kutunggu-tunggu, aku segera mandi dan mempersiapkan perlengkapan balap. kutanya pada ibu di mana Reza, ibu bilang ia pulang tadi sebelum aku bangun, aku lari keluar untuk melihat sepedaku dan ternyata.., sungguh sangat luar biasa banyak perubahan pada sepedaku, mulai dari stang, rem cat dan lain lain.

Kulihat di alun-alun kota, sudah banyak orang berkumpul dan spanduk bertulisan “speedy”. Aku meminta do’a pada ibuku sebelum pertandingan tapi aku tak melihat pak Yusep dan reza. Pertandingan di mulai aku mengayuh sepeda rasanya sepedah ini sangat ringan, ini sangat bagus telebih rute kali ini sangat jauh dari alun-alun sampai ke desa Cikerai. yah, sekitar dua belas kilo. Aku mulai meyusul lawan-lawanku satu persatu, akhirnya aku mengerti untuk apa selama ini aku memakai sepatu super berat itu, karena itu membuat kakiku sangat ringan dan tak mudah lelah jalan tinggal setengah kilo lagi, aku berada di posisi ke lima dan aku mulai meyusul dua lawan di depanku, kakiku mulai kaku aku bisa melihat dua lawanku yang kukira lawan yang diceritakan oleh Reza dan juga garis finish dan aku pun melihat pak Yusep dan Reza di depan garis finish. Ini jalan lurus terakhir yang menentukan siapa pemenangnya, aku mengayuh sepedahku sekuat tenaga kami bertiga yang di urutan paling depan sejajar. ku kayuh lebih kuat nafasku mulai tidak stabil dan mataku tak terbuka tepat ketika akan melewati garis finish.

Kubuka mataku, penglihatan ini serba buram, kulihat tiga bayangan besar manusia yang buram, kupusatkan sekuat tenaga penglihatan ini akhirnya semua serba jelas, tiga bayangan itu adalah ibuku, Reza dan Pak Yusep kulihat di pojok kanan benda besar berbentuk sepeda ternyata, itu adalah sebuah piala. “kau juara pertama nak” kata ibuku, “bagaimana bisa?” tanyaku, “kau finish dalam keadaan tak sadar” kata Reza. Aku tak bisa menahan kegembiraan ini, tapi ini tak seperti di mimpi, saat itu aku berada di atas podium, dan melihat senyum ibuku, tapi sekarang aku melihatnya saat aku terbaring di atas kasur.

Tiga bulan kemudian aku pamit pada ibuku untuk pergi ke Jakarta untuk menerima beasiswa tak lupa aku membawa sepeda peninggalan almarhum ayahku. Sebelumnya aku pergi ke rumah Reza untuk berpamitan, sekarang ia mendirikan bengkel dan warnet dari hasil uang lomba dan bekerjasama dengan Pak Yusep.

Di bus yang bertuliskan speedy, aku berjanji akan menjadi pembalap nasional yang handal seperti ayahku dan tak lupa pesan dari Pak Yosep “Anggaplah lawan lawanmu hanya segundukan batu, yang harus kau lewati”.

Read more...

Selebritis Minggu Ini

Ingin mendapat nilai yang baik, namun mereka menggunakan cara yang tidak terpuji. Ini bukan contoh yang baik.
Akhirnya mereka mencoba kejujuran dengan mengikuti ujian di lapangan.

Read more...